Percobaan dalam uji pra-klinik merupakan penelitian multidisiplin yang sangat kompleks. Ekstrapolasi data dari hewan ke manusia membutuhkan informasi dari banyak bidang ilmu. Dari penelitian uji pra-klinik diperoleh informasi dan data efikasi dan keamanan yang lebih rinci terutama pada dosis yang setara dengan dosis pada manusia, dan ada tidaknya efek kumulatif dan dapat tidaknya efek itu kembali ke normal (reversible) sesudah pemberian bahan uji dihentikan. Uji ini bisa digunakan untuk meramalkan akibat negatif pada manusia jika ia terpejani oleh bahan itu dalam waktu lama.
Dalam melakukan ekstrapolasi data dari hewan ke manusia harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain seberapa jauh tingkat atau ambang di mana tidak ada efek toksik, bagaimana bentuk kurva logaritmik dosis dan bagaimana bentuk manifestasi efek toksik yang timbul. Nilai ambang tidak ada efek toksik biasanya dihitung secara statistik pada taraf kepercayaan 95% dengan kemungkinan kesalahan 5%. Dari perhitungan ini dapat dibayangkan bahwa jika suatu efek toksik hanya timbul pada 0,1% hewan uji berarti bahwa efek itu dapat tidak teramati jika yang digunakan hanya 100 ekor. Demikian juga jika anomali bisa muncul secara spontan pada hewan uji kontrol maka anomali yang dapat timbul pada hewan dapat lebih besar dan jika data ini langsung diekstrapolasikan ke manusia dapat mengagetkan.
Prakiraan toksisitas pada manusia yang didasarkan pada uji toksisitas yang dilakukan pada hewan uji tergantung pada keterkaitan uji tersebut dengan manusia, lingkungan dan makhluk hidup lainnya. Hal itu juga sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, nutrisi, kesehatan secara umum dan lingkungan. Faktor disposisi pada manusia yang bersifat diturunkan bisa juga ikut berperan dalam menentukan kerentanan manusia itu pada bahan toksik seperti kecenderungan untuk mengidap tumor dan sebagainya.
Seseorang dengan stress atau dalam pengobatan dengan obat immunisuppresive bisa mempunyai risiko lebih besar untuk menderita keracunan atau karsinogenesis. Orang abnormal seperti ini dapat merupakan anggota populasi yang bersifat normal. Risiko itu tidak dapat diprakirakan dari suatu uji pada hewan atau penelitian yang dilakukan pada hewan uji sehat. Variasi genetik pada hewan uji yang ikut menentukan variasi respons, tentu juga dapat dianggap sebagai keterbatasan juga dalam uji pra-klinik.
Badan atau pihak dan para ahli yang berkepentingan dengan uji pra-klinik disarankan untuk tidak bersifat kaku dan selalu mengikuti perkembangan metodologi dalam penelitian pra-klinik terutama perkembangan mendasar dalam pengertian mekanisme terjadinya efikasi ataupun keracunan. Pengenalan dan penggunaan cara baru dalam penelitian pra-klinik mungkin lebih punya arti dan lebih informatif daripada cara lama yang sudah lazim diapakai. Meskipun demikian cara baru ini jangan serta merta digunakan sebagai pengganti cara lama atau langsung digunakan dalam hal keterandalan, kesahihan dan ketepatannya.
Apakah cara lama atau baru yang digunakan sangat perlu dikemukakan bahwa kondisi khusus yang diterapkan pada penelitian harus dapat dilakukan juga oleh peneliti lain sehingga hasil penelitian yang dilakukan juga oleh peneliti laboratorium lain dapat dibandingkan. Oleh karena itu dalam laporan uji pra-klinik disarankan untuk menguraikan cara penelitian lebih rinci.
Ekstrapolasi Data
Penelitian pra-klinik di dalam laboratorium dengan hewan uji dapat digunakan untuk membuat prakiraan efikasi ataupun keamanan yang dapat timbul jika bahan uji masuk ke dalam tubuh manusia. Meskipun demikian harus disadari bahwa penelitian dengan menggunakan hewan uji sebagai model mempunyai banyak keterbatasan dalam ketepatan dan keterandalan sebagai cara untuk membuat prakiraan efek pada manusia secara kuantitatif. Ketepatan dan keterandalan itu tergantung pada banyak hal antara lain pemilihan hewan uji, perencanaan penelitian dan cara ekstrapolasi dari hewan kepada manusia.
Dalam melakukan ekstrapolasi data dari hewan kepada manusia harus memenuhi syarat agar data yang diambil dari suatu penelitian cukup adekuat. Syarat tersebut antara lain jenis dan kondisi hewan uji sesuai dengan apa yang diperlukan, mempunyai kerentanan mirip dengan manusia, jumlah hewan uji, cara pemberian bahan yang diteliti dan sifat fisik serta kimiawi bahan yang diteliti sesuai dengan maksud serta tujuan penelitian. Efek ikutan bahan yang diteliti dan organ sasaran juga harus diperhitungkan di dalam menyusun rencana penelitian.
Masalah paling sulit di dalam melakukan ekstrapolasi data dari hewan ke manusia ialah melakukan konversi dari satu spesies ke spesies lain. Untuk hampir semua bahan beracun, pathogenesis keracunan antara manusia dan hewan mamalia hampir sama sehingga gejala keracunannya juga hampir sama. Oleh karena itu perbedaan respons yang ada lebih bersifat kuantitatif. Manusia dapat lebih rentan daripada beberapa jenis hewan uji tetapi untuk beberapa keadaan hewan uji tertentu lebih rentan daripada manusia. Contoh yang mudah dalam hal ini ialah atropin. Mencit jauh lebih rentan terhadap atropin, kucing kurang rentan sementara kelinci dan anjing tidak rentan terhadap atropin. Oleh sebab itu kedua hewan uji terakhir ini dapat toleran terhada atropin pada dosis 100 kali lebih tinggi daripada dosis letal pada manusia. Sebaliknya anjing lebih sensitif terhadap asam hidrosianat daripada manusia.
Perbedaan kerentanan antar spesies yang terjadi mungkin merupakan akibat dari adanya perbedaan dalam metabolisme, khususnya dalam ketersediaan dan kemampuan enzim untuk detoksikasi racun. Di samping itu perbedaan tersebut juga dapat diakibatkan oleh perbedaan dalam absorpsi, transport, distribusi dan eliminasi bahan beracun tersebut. Adanya perbedaan ciri dan sifat antar spesies harus selalu dipertimbangkan dalam memilih hewan uji sebagai model dalam penelitian. Jika dalam suatu penenlitian pemberian bahan uji secara oral maka hewan uji yang digunakan harus memiliki kesamaan ciri, sifat dan pola absorpsi dengan manusia meskipun masih ada perbedaan secara kuantitatif. Perbedaan dalam absorpsi antar spesies untuk beberapa bahan dapat pula disebabkan oleh atau berhubungan erat dengan perbedaan jenis flora usus. Beberapa ahli menyatakan distribusi dan penyimpanan senyawa tertentu pada manusia lebih konsisten daripada mamalia rendah meskipun pada manusia pengikatan bahan itu oleh protein tertentu lebih nyata. Ekskresi urin dapat juga berbeda dari satu spesies ke spesies lain dan ini lebih banyak disebabkan karena factor makanan yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan pH urin dan tingkat ionisasi senyawa yang diteliti. Eempedu sangat bervariasi di antara jenis hewan uji dan nampaknya pada mencit dan kelinci lebih besar daripada tikus dan manusia. Perbedaan respons yang ada diantara spesies hewan uji dan manusia nampaknya lebih erat hubungannya dengan biotransformasi yang umumnya lebih cepat berlangsung pada hewan uji yang lebih rendah dari manusia.
Salah satu bahan karsinogen kuat untuk kandung kemih seperti 2-naftaleneamin atau 2-naftilamina bisa menyebabkan kanker kandung kemih anjing, tupai dan manusia tetapi tidak pada tikus putih, kelinci atau marmot. Perbedaan antar spesies pada pertumbuhan kanker nampaknya lebih banyak disebabkan oleh karena perbedaan dalam pola dan kemampuan metabolisme. Pada hewan uji tertentu dapat dihasilkan metabolit yang bersifat karsinogen tetapi pada hewan lainnya tidak sehingga dapat mengakibatkan timbulnya perbedaan efek toksik dari beberapa senyawa racun.
Jika ada data atau informasi tentang metabolisme yang berkaitan dengan jenis hewan uji dan senyawa yang diteliti, perbedaan dalam absorpsi, distribusi, biotransformasi dan eliminasi bahan racun pada manusai dengan hewan uji harus dipertimbangkan dalam memilih hewan uji yang akan digunakan.
Perbedaan toksisitas antar spesies dapat juga meneybabkan perbedaan transport selular. Sebagai karsonogen, aflatoksin lebih toksik pada tikus daripada mencit, lebih lambat masuk ke dalam sel hepar atau lebih lambat juga dimetabolisme oleh sel mencit daripada tikus.
Dalam menentukan lamanya suatu penelitian perlu membandingkan lama harapan hidup (life span) hewan uji dengan manusia. Rata-rata lama harapan hidup hewan uji berbanding lurus dengan berat badannya. Dengan hukum body weight rule dan analisis regresi dapat ditunjukkan bahwa lama harapan hidup mamalia yang punya berat sama dengan manusia (70kg) ialah 15 tahun. Dari asumsi ini lama harapan hidup tikus rat sekitar 2.5 tahun itu setara dengan manusia yang hanya dinilai 15-17 tahun. Dari sini Nampak bahwa asumsi tersebut tidak konsisten. Oleh sebab itu dalam menyusun rencana penelitian atau membuat interpretasi hasil penelitian pada hewan perlu mempertimbangkan faktor lama harapan hidup ini.
Masalah lain dalam mengevaluasi dan membuat prakiraan toksisitas pada manusia dari hasil penelitian pada hewan ialah kesukaran dalam mengukur besarnya efek, bagaimana membuat kondisi pada hewan uji sesuai dengan manusia (misalnya kecerdasan dan perubahan tingkah laku). Demikian juga efek dari factor social yang sangat penting pada manusia tetapi tidak dapat ditirukan pada hewan uji. Oleh karena itu dalam melakukan ekstrapolasi data dari hewan uji ke manusia perlu sekali dibuat faktor konversi antar spesies yang didasarkan pada pertimbangan biologic dan informasi tentang hewan uji.
Mencit 20g | Tikus 200g | Marmot 400g | Kelinci 1.5kg | Kucing 2kg | Kera 4kg | Anjing 12kg | Manusia 70kg | |
Mencit 20g | 1.0 | 7.0 | 12.25 | 27.8 | 29.7 | 64.1 | 124.2 | 387.9 |
Tikus 200g | 0.14 | 1.0 | 1,74 | 3.9 | 4.2 | 9.2 | 17.8 | 56.0 |
Marmot 400g | 0.08 | 0.57 | 1.0 | 2.25 | 2.4 | 5.2 | 10.2 | 31.5 |
Kelinci 1.5kg | 0.04 | 0.25 | 0.44 | 1.0 | 1.08 | 2.4 | 4.5 | 14.2 |
Kucing 2kg | 0.03 | 0.23 | 0.41 | 0.92 | 1.0 | 2.2 | 4.1 | 13.0 |
Kera 4kg | 0.016 | 0.11 | 0.19 | 0.42 | 0.45 | 1.0 | 1.9 | 6.1 |
Anjing 12kg | 0.008 | 0.06 | 0.10 | 0.22 | 0.24 | 0.52 | 1.0 | 3.1 |
Manusia 70kg | 0.0026 | 0.018 | 0.31 | 0.07 | 0.075 | 0.16 | 0.32 | 1.0 |
Apabila pembaca mendapatkan informasi dan ilmu dari artikel ini, mohon kiranya bersedia untuk mengapresiasi serta berdonasi bagi kemajuan ilmu pengetahuan, cukup dengan klik salah satu iklan di halaman ini atau website ini.